Kamis, 14 April 2011

makalah PAI tentang Pencatatan Perkawinan dan Nikah di bawah tangan

BAB I
PENCATATAN PERKAWINAN

Perkawinan sebagai sebuah akad bahwa akad nikah dalam sebuah perkawinan memiliki kedudukan yang sentral. Begitu pentingnya akad nikah, hingga ia ditempatkan sebagai salah satu rukun nikah yang telah disepakati. Kendati demikian tidak ada syarat bahwa akad nikah itu harus dituliskan atau diaktekan. Atas dasar inilah fiqih Islam tidak mengenal adanya pencatatan perkawinan.

Perspektif fiqih
Ada beberapa anolis yang dapat dikemukan terhadap pencatatan perkawinan karena tidak diberi perhatian yang serius oleh fiqih, walaupun ada ayat alqur'an yang menganjurkan untuk mencatat segala bentuk transaksi mu'amalah.
Pertama : larangan untuk menulis sesuatu selain Al-quq'an.
Kedua : mereka sangat mengandalkan ingatan (hayalan).
Ketiga : tradisi walimah, Al-urusy walaupun dengan seekor kambing merupakan saksi-saksi tentang sebuah perkawinan.
Keempat : ada kesan perkawinan yang berlangsung pada masa-masa awal Islam belum terjadi antar wilayah negara yang berbeda. Biasanya perkawinan pada masa itu berlangsung dimana calon suami dan istri yang berada dalam satu wilayah yang sama, sehingga alat bukti perkawinan selain saksi belum dibutuhkan.

Dengan alasan-alasan yang telah disebutkan di atas, dapatlah dikatakan bahwa pencatatan perkawinan belum dipandang sesuatu yang sangat penting sekaligus belum dijadikan sebagai sebuah alat bukti autentik terhadap sebuah perkawinan.

Dengan demikian salah satu bentuk pembaharuan hukum kekeluargaan Islam adalah dimuatnya pencatatan perkawinan sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi. Dikatakan pembaharuan hukum Islam karena masalah tersebut tidak ditemukan di dalam kitab-kitab ataupun fatwa-fatwa ulama.


Perspektif UU No. 1/1974

Dari penjelasan diatas, jelaslah bahwa fiqih tidak membicarakan pencatatan perkawinan. Di dalam UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 2 dinyatakan bahwa : "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku".

Dalam PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang perkawinan ayat 3 dinyatakan :
1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan.
2. Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dibukukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
3. Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat 2 disebabkan sesuatu alasan yang penting diberikan oleh Camat (atas nama) Bupati.


Perspektif KHI

KHI memuat masalah pencatatan perkawinan ini pada pasal 5 sebagai berikut :
1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat.
2. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat 1 dilakukan oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 Jo. UU No. 32 Tahun 1954.

Selanjutnya pada pasal 6 dijelaskan :
1. Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan dibawah pengawasan pegawai pencatat nikah.
2. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.


Tata Cara Perkawinan

Untuk melangsungkan perkawinan harus dilaksanakan menurut tata cara yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila tidak dilakukan demikian, banyak orang yang menyebut perkawinan itu terjadi dibawah tangan.

Adapun tata cara atau prosedur perkawinan sesuai urutan-urutannya sebagai berikut :

1. Pemberitahuan

Dalam pasal 3 PP No. 9 Tahun 1975 di tetapkan bahwa : "Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan".

Pemberitahuan tersebut dalam pasal 3 ayat 2 PP No. 9 Tahun 1975 ditentukan paling lambat 10 hari kerja sebelum perkawinan berlangsung.

2. Penelitian

Sesuai pasal 6 ayat 1 No. 9 Tahun 1975 pegawai pencatat meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah terpenuhi dan apakah tidak terdapat halangan, baik menurut hukum munakahat ataupun menurut perundang-undangan yang berlaku. Syarat-syarat perkawinan seperti yang telah diuraikan mengenai persetujuan calon mempelai, umur, izin orang tua dan seterusnya. Inilah pertama-tama diteliti pejabat tersebut.

3. Pengumuman

Berdasarkan pasal 8 PP No. 9 Tahun 1975, pengumumn tentang adanya kehendak melangsungkan perkawinan.

Adapun mengenai caranya, surat pengumuman tersebut ditempelkan menurut formulir yang ditetapkan pada kantor catatan perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan ini dibaca oleh umum. Tujuannya, agar masyarakat umum mengetahui siapakah orang-orang yang hendak menikah. Selanjutnya apabila ada pihak yang keberatan terhadap perkawinan tersebut dapat mengajukan keberatan kepada kantor pencatat perkawinan.

4. Pelaksanaan

Mengenai cara pelaksanaan perkawinan, pasal 10 ayat 2 PP No. 9 Tahun 1975 ternyata menegaskan kembali pasal 2 ayat 1 Undang-Undang perkawinan yaitu perkawinan dilaksanakan menurut hukum-hukum masing agama dan kepercayaan itu, supaya sah.

Peraturan pemerintah ini juga mensyaratkan bahwa selain itu perkawinan dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat perkawinan yang berwenang dan dihadiri oleh dua orang saksi. Sesaat sesudah dilangsungkan perkawinan sesuai PP No. 9 Tahun 1975, selanjutnya mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat perkawinan.

Sejalan dengan perkembangan zaman dengan dinamika yang terus berubah maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Pergeseran kultur lisan (oral) kepada kultur tulis sebagai ciri masyarakat modern, menuntut dijadikannya akta, surat sebagai bukti autentik. Karena saksi hidup biasa hilang dengan kematian, atau juga dapat memgalami kelupaan dan kesilapan. Atas dasar ini diperlukan sebuah buku yang abadi, itulah yang disebut dengan akta.



BAB II
PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN


Pernikahan di bawah tangan disebut juga dengan azzawaj al-'urufy, yaitu sebuah pernikahan yang tidak tercatat sebagaimana mestinya, menurut perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini Syekh Ali Jaad Al-Haaq membagi ketentuan yang mengatur pernikahan kepada dua kategori :

1. Peraturan syara', yaitu peraturan yang menentukan sah atau tidak sahnya sebuah pernikahan. Peraturan ini adalah peraturan yang ditetapkan oleh syariat Islam seperti yang telah dirumuskan oleh para pakarnya dalam buku-buku fiqh dari berbagai mazhab yang pada intinya adalah kemestian adanya ijab dan kabul dari masing-masing dua orang yang berakad (wali dan calon suami) yang diucapkan pada majelis yang sama, serta dihadiri oleh dua orang saksi yang telah baligh, berakal lagi beragama Islam, dimana dua orang saksi itu disyaratkan mendengarkan sendiri secara langsung lafal ijab dan kabul tersebut.

2. Peraturan yang bersifat tawsiqy, yaitu peraturan tambahan yang bermaksud agar pernikahan di kalangan umat islam tidak liar, tetapi tercatat dengan memakai surat akta nikah secara resmi yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang. Secara administratif, ada peraturan yang mengharuskan agar suatu pernikahan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kegunaannya agar sebuah lembaga perkawinan yang mempunyai tempat yang sangat penting dan strategis dalam masyarakat Islam. Bisa dilindungi dari adanya upaya-upaya negatif dari pihak-pihak yang bertanggung jawab. Misalnya : sebagai antisipasi dari adanya pengingkaran adanya akad nikah oleh seorang suami di belakang hari.

Dalam ketentuan yang mengatur perkawinan umat Islam di Indonesia disamping ada ketentuan perundang-undangan yang mengharuskan pencatatan nikah sehingga dengan itu suatu pernikahan akan memperoleh akta nikah secara resmi, ada pula ketentuan yang mengatur tentang isbat nikah seperti tercantum dalam pasal 7 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi : "Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama". Dengan adanya pasal 7 tersebut, berarti telah memberikan peluang bagi nikah-nikah yang tidak tercatat untuk kemudian mencatatkan diri sebagaimana mestinya. Adanya peluang ini menguntungkan pihak yang melakukan pernikahan di bawah tangan, dan pada waktu yang sama merupakan tanggung jawab badan yang berwenang untuk merealisir terwujudnya peluang itu bagi yang berhasrat mengisi peluang tersebut.



BAB III
KESIMPULAN


Didalam perspektif fiqh, pencatan perkawinan belum dipandang sesuatu yang sangat penting sekaligus belum dijadikan sebagai sebuah alat bukti autentik terhadap sebuah perkawinan. Hal ini tentu terlihat dengan UU Perkawinan tidak saja menempatkan pencatatan perkawinan sebagai suatu yang penting, tetapi juga menjelaskan bagaimana mekanisme pencatatan perkawinan dilaksanakan. Seperti di dalam UU No. 1/1974 Pasal 2 Ayat 2 dinyatakan : "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku".

Pernikahan di bawah tangan atau sering disebut juga azzawaj al'urufy yaitu sebuah pernikahan yang tidak tercatat sebagaimana mestinya menurut undang-undang yang berlaku.

1 komentar: