Rabu, 13 April 2011

makalah PAI tentang wahyu, akal dan ijtihad dalam islam

A. Pengertian Wahyu

Kata wahyu disebut dalam Al-qur'an tidak kurang dari 4 kali. Namun bentukan lain dari kata wahyu seperti : atuhaina, nuhi, yuhi, uhiya, auha, dan sebagainya. Secara bahasa berasal dari kata : waha, yahi, wahyan, yang berarti mengerjakan dan menunjukkan sesuatu.

Menurut Ibnu Faris menyatakan bahwa secara bahasa wahyu dapat diartikan dengan isyarat, tulisan, risalah, dan segala sesuatu yang disampaikan kepada orang lain. Secara Istilah disebutkan, wahyu adalah petunjuk dari Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi dan Rasul melalui cara - cara tertentu. Misalnya melalui mimpi dan cara - cara lain.

Menurut Hasbi Ash-shiddiqy, wahyu adalah menerima pembicaraan secara rohani, kemudian pembicaraan tersebut tertulis dalam hati. Jadi wahyu merupakan tumpahan ilmu yang dituangkan oleh Allah kedalam hati para Nabi dan Rasul sehingga terukirlah ibarat - ibarat (gambaran - gambaran) yang dengannya Nabi mendengar pembicaraan yang tersusun rapi.

Menurut Rasyid Ridha, wahyu adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada para Nabi dan Rasul dalam suatu ilmu yang dikhususkan untuk mereka dengan tidak dipelajari.

Menurut Muhammad Abduh, wahyu mempunyai 2 fungsi pokok, yaitu :
1. Timbul dari keyakinan bahwa jiwa manusia akan terus ada dan kekal sesudah tubuh kasar (jasad) mati, dan bahwa ada kehidupan setelah kehidupan yang pertama ini. Keyakinan ini timbul bukan dari pemikiran akal yang sesat dan bukan pula suatu khayalan, karena hampir semua orang sepakat bahwa jiwa akan tetap hidup sesudah ia terpisah dari tubuh.
2. Mempunyai kaitan erat dengan sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial.

Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa Allah menurunkan wahyu-Nya kepada Nabi dan Rasul dengan 3 perkara yaitu : Malaikat Jibril kadang kala mendatangi Nabi Muhammad dengan menyerupai seorang laki - laki yang tampan, dan disaat yang lain Malaikat Jibrik memperlihatkan dirinya dalam bentuk yang asli, yang memiliki 600 sayap.

Dalam hadits riwayat Aisyah dijelaskan bahwa : Al-Harits bin Hisyam bertanya kepada Rasulullah, " wahai Rasulullah, bagaimana wahyu datang kepada Tuan? " . Beliau menjawab : " kadang - kadang wahyu datang kepadaku seperti gemerincing lonceng, dan ketika suara itu telah pulang, maka Akupun hafal wahyu tersebut. Dan kadang - kadang wahyu itu datang dibawa oleh Malaikat Jibrik yang menyerupakan dirinya seorang lelaki, lalu dia berbicara kepadaku, dan aku menghafal apa yang disampaikannya ". Aisyah berkata, " Saya benar - benar pernah menyaksikan wahyu turun kepada Rasulullah pada musim yang sangat dingin, sungguh ketika penyampaian wahyu tersebut telah usai, mengalirlah peluh didagu Rasulullah SAW ". (HR. Bukhari - Muslim, Ibnu Majah).

Namun demikian ada juga ulama yang berpendapat bahwa itu tidak hanya khusus diperuntukkan bagi para Nabi dan Rasul, tetapi orang biasa juga bisa menerima wahyu.


B. Akal Pikiran (Al-Ra'yu Ijtihad)

Sumber hukum Islam ke-3 adalah akal pikiran manusia, berikhtiar dengan seluruh kemampuan yang padanya memahami kaidah - kaidah hukum yang fundamenta yang terdapat dalam Alqur'an. Menurut ajaran Islam, akal manusia erat hubungannya dengan wahyu. Dalam Bahasa Arab Akal adalah Al-aql mempunyai beberapa makna selain berarti pikiran dan intelektual, kata ini juga bermakna sesuatu yang mengikatkan manusia dengan Tuhan, sebab arti lain perkataan Aql menurut bahasa adalah ikatan. Menurut Al-qur'an runtuhnya iman tidak sama dengan kehendak yang buruk, tetapi tidak karena tidak adanyaa atau tidak dipergunakannya akal secara baik dan benar. (S2, Nasr, 1981 : 6)

Akal adalah kunci untuk memahami agama, ajaran dan hukum Islam. Oleh karena itu, Islam menjelaskan tentang kedudukan akal terhadap agama yaitu, tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal. Begitu pula dengan hukum dan hukuman yang berkaitan dengan akal. Tidak ada hukum atau hukuman bagi orang yang tidak berakal atau gila. Akal juga mempunyai kedudukan dalam sistem agama Islam, akal adalah wadah yang menampung aqidah, syariah dan akhlak.

Akal adalah ciptaan Allah untuk mengembangkan dan menyempurnakan suatu kemajuan umat manusia dapat terwujud karena manusia mempergunakan akalnya. Dalam ajaran Islam ada ungkapan yang menyatakan : Al-'aqlu huwa-i-hayah, wa faqdu huwa-i-maut. Artinya : akal adalah kehidupan (life), kalau akal hilang berarti kematian, ada akal berarti hidup dan tidak berakal lagi berarti mati (Osman Raliby, 1981 : 30).

Akal mempunyai fungsi sangat penting dalam kehidupan manusia, tumbuh dan berkembang menunjukkan kesempurnaan melalui suatu proses, anak-anak yang belum sempurna akalnya atau orang sakit yang hilang akalnya, dibebaskan dari pertanggung jawaban. Menurut ajaran hukum Islam, orang yang diminta pertanggung jawaban hanyalah orang yang berakal dan sempurna akalnya.

Perlu ditegaskan bahwasanya akal tidak boleh bergerak dan berjalan tanpa bimbingan, tanpa petunjuk yang datang dari Allah SWT berupa " wahyu ", yang membetulkan akal dalam geraknya, kalau ia menjurus ke jalan yang nyata - nyata salah karena pengaruh lingkungan. Sesungguhnya manusia yang mempunyai akal membutuhkan petunjuk Tuhan, sebab selain manusia itu lemah, pelupa dan acuh tak acuh pada dirinya sendiri, juga terdapat banyak hambatan lain yang menyebabkan manusia tidak mampu mempergunakan akalnya secara baik dan benar. Oleh sebab itu Allah menurunkan petunjuk-Nya berupa wahyu untuk membangunkan manusia dari impiannya dan mengingatkan akan arti eksistensinya yang bertugas sebagai khalifah di bumi.

Dengan demikian akal dan wahyu mempunyai hubungan yang erat merupakan soko guru ajaran Islam. Namun perlu ditegaskan bahwa akal dan wahyu tidaklah sama dan tidak pula sederajat. Wahyu yang menuntun, membimbing dan mengukur akal manusia, bukan sebaliknya. Jika di hubungkan dengan hukum, maka bagi orang yang beriman, hukum Allah yang disampaikan dengan wahyu, kedudukannya lebih tinggi dan utama dari hukum ciptaan manusia. Berarti hukum yang dihasilkan oleh akal pikiran manusia tidak boleh bertentangan dengan hukum yang disampaikan melalui wahyu.

Akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad yang menjadi sumber hukum Islam yang ke-3. Dalam kepustakaan disebut Arra'yu atau Ijtihad (Azhar Basyir, 1983 : 6).

Secara harfiah ra'yu berarti pendapat atau pertimbangan, seseorang yang memiliki persepsi dan pertimbangan yang bijaksana disebut orang yang mempunyai ra'yu (dzu'iray). Dasar hukum untuk mempergunakan akal pikiran atau ra'yu dalam berijtihad bagi perkembangan hukum islam adalah :
1. Al-Qur'an surat An-Nisa' ayat 59, yang juga mewajibkan untuk mengikuti Ulil Amri.
2. Hadits dari Mu'az bin Jabal yang menjelaskan bahwa mu'az sebagai Ulil Amri (penguasa) di Yaman dibenarkan oleh Nabi mempergunakan ra'yunya untuk berijtihad,
3. Contoh yang diberikan oleh Ulil Amri yakni khalifah Umar bin Khattab beberapa tahun setelah Nabi Muhammad wafat, dalam memecahkan persoalan hukum yang tumbuh dalam masyarakat, pada masa awal perkembangan Islam.

Menurut Hazairin, Ijtihad Ulil Amri itu dapat dibagi dua, yaitu :
1. Yang berwujud atau penunjukan garis hukum yang setepat-tepatnya untuk ditetapkan pada suatu perkara atau kasus tertentu yang mungkin langsung diambil dari ayat - ayat hukum dalam Al-Qur'an, mungkin pula ditimbulkan dari perkataan (penjelasan) atau teladan yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW.
2. Ketentuan yang berwujud diciptakan atau pembentukan garis hukum baru bagi keadaan - keadaan baru menurut tempat dan waktu, dengan berpedoman kepada kaidah hukum yang telah ada dalam Al-qur'an dan Sunnah Rasul (Hazairin, 1984 : 65).

Ijtihad dalam bahasa Arab disebut Jahada, artinya bersungguh - sungguh atau mencurahkan segala daya dalam berusaha. Ijtihad adalah ikhtiar yang sungguh - sungguh dengan mempergunakan segenap kemampuan yang dilakukan orang (ahli hukum) yang memenuhi syarat untuk merumuskan garis hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuan langsung didalam Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah. Orang berijtihad disebut Mujtahid.

1. Di lihat dari jumlah pelakunya, Ijtihad dapat dibagi 2 yakni :
a. Ijtihad individu yaitu ijtihad yang dilakukan oleh seorang mujtahid saja.
b. Ijtihad kolektif, yaitu ijtihad yang dilakukan bersama - sama oleh banyak ahli tentang satu persoalan hukum tertentu.
2. Di lihat dari objek atau lapangannya, ijtihad dapat dilakukan terhadap :
a. Persoalan - persoalan hukum yang bersifat Zhanni.
b. Hal - hal yang tidak terdapat ketentuan dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits.
c. Mengenai masalah - masalah hukum baru yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.

Tidak semua orang dapat berijtihad, yang berhak berijtihad adalah mereka yang memenuhi syarat - syarat berikut :
1. Menguasai bahasa Arab untuk dapat memahami Al-Qur'an dan kata - kata hadits yang tertulis dalam bahasa Arab.
2. Mengetahui isi dan sistem hukum Al-Qur'an serta ilmu - ilmu untuk memahami Al-Qur'an.
3. Mengetahui hadits - hadits hukum dan ilmu - ilmu hadits yang berkenaan dengan pembentukan hukum.
4. Menguasai sumber - sumber hukum islam dan metode menarik garis hukum dan sumbernya.
5. Mengetahui dan menguasai kaidah - kaidah fiqh (qawa'id alfiqhiyyah), baca Qawaklul Fiqqiyah.
6. Mengetahui rahasia dan tulisan - tulisan hukum Islam.
7. Jujur dan ikhlas.
8. Menguasai ilmu - ilmu sosial dan ilmu - ilmu yang relevan.
9. Serta dilakukan secara kolektif (jama'i) bersama para ahli (disiplin ilmu) lain.


¤ KESIMPULAN

1. Secara bahasa wahyu berasal dari kata : waha, wahyan yang berarti mengajarkan dan menunjukkan sesuatu.
2. Secara istilah wahyu adalah petunjuk dari Allah yang diturunkan kepada Nabi dan Rasul melalui cara - cara tertentu sehingga terukirlah ibarat gambaran yang tersusun rapi.
3. Akal adalah ciptaan Allah untuk mengembangkan dan menyempurnakan sesuatu kemajuan umat manusia dapat terwujud karena manusia mempergunakan akal.
4. Ijtihad adalah usaha atau ikhtiar yang sungguh - sungguh dengan mempergunakan segenap kemampuan yang dilakukan orang ahli hukum islam yang memenuhi syarat untuk merumuskan garis hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya didalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar